Senin, 07 Desember 2009

15 Tahun Yayasan PESAT Nabire: “Mereka Anak-anak yang Terpilih”

Kamis, Desember 03, 2009

Dengan pendidikan berpola asrama, PESAT Nabire telah hadir di Papua selama 15 Tahun. Ada yang luar biasa dengan pelayanan mereka, di mana mendidik anak-anak asli Papua sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Bagi mereka, mendidik karakter seorang anak lebih penting daripada hanya kepintaran dan kecerdasan saja.

Pendidikan berpola asrama merupakan salah satu cara jitu yang dapat digunakan untuk membangun Pendidikan di tanah Papua, lebih khusus meningkatkan sumber daya manusianya. Namum, tidak banyak juga yang menyadari hal ini sehingga terkesan mengabaikan pendidikan pola asrama untuk anak-anak Papua yang membutuhkan pendidikan.

UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus sudah hampir 8 tahun hadir di Papua, namun tidak ada prestasi gemilang yang bisa Otsus torehkan untuk perubahan anak-anak Papua, khususnya di bidang pendidikan. Lihat saja, hasil Study Univerisitas Indonesia yang dipaparkan beberapa waktu lalu di Jakarta menempatkan provinsi Papua sebagai daerah buta huruf paling tinggi di Indonesia. Seharusnya tidak demikian, kenapa proposional dana Otsus untuk pendidikan yang milyaran rupiah belum bisa menjawab hal ini.

Hingga saat ini di Papua, hanya ada satu Yayasan yang mengembangkan pola pendidikan berasrama, yaitu Yayasan PESAT, mereka berdomisil di Kabupaten Nabire. Dan telah hadir di Papua hampir 12 Tahun lamanya. Sistem pendidikan berpola asrama yang mereka kembangkan, adalah dengan cara ber-asrama-kan anak-anak asli Papua dari TK-SMA, dan memiliki sekolah khusus yang tidak bisa dicampur baurkan dengan mereka yang ada di luar asrama.

Komentar Pelayanan Mereka
Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH telah banyak bercerita tentang kinerja luar biasa yang Yayasan ini tunjukan selama hadir di Papua, lebih khusus telah dipaparkan panjang lebar dalam bukunya “Kami yang Menanam, Kami yang Menyiram dan Tuhanlah yang Menumbuhkan”.

“Saya sangat bersyukur kepada Tuhan, karena Yayasan PESAT hadir di Papua dan telah mendidik dan mengajari sekian banyak anak-anak Papua, khususnya mereka yang datang dari pedalaman untuk menjadi manusia. Mewakili pemerintah daerah, saya mengucapkan banyak terima kasih untuk Yayasan Pesat,’ ucap Pak Bas saat melaksanakan kunjungan di Yayasan ini beberapa waktu lalu.

Yayasan PESAT berdiri bermula dari kerinduan besar seorang hamba Tuhan, Pdt Daniel Alexander namanya. Beliau sangat berkeinginan melihat anak-anak Papua yang pintar, cerdas, terampil, kreatif serta berkarakter kristus. Baginya mereka sudah pasti bisa membangun Papua setelah keluar dari arena pendidikan dasar (TK-SMA) ini. Dasar yang kuat, sudah tentu mengarahkan anak ini untuk memilih dan menentukan araha hidup yang lebih baik lagi.

“Saya yakin, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin Papua yang hebat dan luar biasa. Mereka imamat yang rajani, anak-anak yang terpilih untuk membangun dan mengubah Papua. Nanti kita bisa lihat kinerja mereka dalam beberapa waktu mendatang setelah mereka menyelesaikan studi,” kata Daniel beberapa waktu lalu di Nabire.

Menurutnya, pendidikan pola asrama paling jitu di Papua, agar setiap anak-anak tersebut bisa didik sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang berlaku, serta mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menjadi modal dasar. Guru-guru yang mereka datangkan untuk melayani anak-anak ini sangat luar biasa. Bahkan ada yang bergelar doctor tapi di mana harus tinggal serumah dengan anak-anak. Luar biasa bukan? Baginya, tidak cukup seorang anak hanya pintar dan cerdas, tapi yang terpenting adalah memiliki aklhak dan karakter yang baik, ini baru orang yang hebat. Dan, setiap guru-guru yang ada mengajarkan tentang hal itu dimana membentuk karakter dan akhlak dari pada setiap anak-anak didik.

“Lihat saja di negara Indonesia, terlebih khusus di Papua, banyak orang pintar dan cerdas, semua mereka selalu korupsi terus, sehingga rakyat hanya menjadi korban. Tetapi beda, kalau pintar dan cerdas dibarengi dengan aklhak dan karakter yang baik seperti kristus, mereka akan menjadi lilin di tengah kegelapan, dan memang itu kerinduan terbesar saya membangun pendidikan berpola asrama di Papua,” papar Daneil menjelaskan.

Selain itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Nabire, A. H. Sihombing pernah berkomentar tentang keberadaan Yayasan ini, ketika memberikan kata sambutan dalam acara yang diselenggakan oleh SMA Kristen Anak Panah, salah satu sekolah yang didirikan Yayasan ini.

“PESAT Nabire telah membantu meringankan beban pemerintah daerah, di mana bisa mendidik dan membina anak-anak Papua untuk menjadi manusia. Saya sangat berterima kasih untuk kerja ini,” tandas Sihombing.

Lebih lanjut menurutnya, PESAT telah menyatakan bahwa membangun pendidikan di kabupaten Nabire, uang bukan segalanya, tetapi kesungguhan dan motivasi untuk mendidik-lah yang harus dikedepankan. Ini harus menjadi contoh bagi yayasan-yayasan, serta sekolah-sekolah yang lain di kabupaten Nabire.

Kendala Mendidik Anak-anak Papua
Menurut kepala salah satu asrama di Nabire, Gestinov Hutubesy S.T. bahwa mendidik anak-anak Papua sangat susah, diperlukan pendekatan kasih saying agar mereka bisa berubah. “Mendidikan anak-anak Papua yang datang dari berbagai tempat, serta berbagai latar belakang memang sangat susah, tetapi kami menggunakan pendekatan kasih sayang, sehingga bersyukur anak-anak kami bisa menerima ini, dan banyak dari antara mereka yang memilki karakterk sangat baik, sopan, ramah, serta bergaul dengan siapa saja,” pungkasnya.

Lebih lanjut, pak Gestinov mengatakan bahwa mereka mendidik anak-anak Papua dengan kasih, sehingga ke depannya anak-anak ini bisa membawa terang kepada siapa saja, terutama keluarga mereka sendiri. Dan, kami sangat berkeyakinan, bahwa orang tua mereka juga akan disenang, melihat perubahan sikap hidup anak-anak mereka.

Banyak prestasi yang anak-anak kami torehkan, seperti ada beberapa anak yang selalu mewakili sekolahnya untuk ikut Olimpiade di Jayapura, bahkan ada beberapa yang sempat ke Jakarta, dan tinggal lama di sana. Ini merupakan kebanggaan tersendiri buat kami yang di Asrama maupun Yayasan, di mana keluh kesah kami mendidik tidak sia-sia.

“Selain itu juga, anak-anak kami telah belajar menulis melalui bulletin AGAPE yang mereka terbitkan setiap bulannya secara berkala. Di sini terlihat anak-anak kami memiliki potensi-potensi yang sangat luar biasa. Dan, mereka tetap belajar dan belajar untuk mengembangkan bulletin asrama yang mereka miliki, tetapi pesan saya untuk mereka, jangan sekali-kali mengabaikan tugas utama, yaitu sekolah,” pungkasnya.

Sekolah dan Asrama
Selama 12 Tahun hadir di Papua, terlebih khusus di Nabire, pesat telah membangun sangat banyak asrama, dan mereka sempat berpindah-pindah tempat. Terdapat 4 asrama. Asrama Anugerah (untuk anak-anak laki-laki SMP hingga SMA), Asrama Agape (untuk anak-anak perempuan SD), asrama gilgal (untuk anak-anak laki-laki dan perempuan TK hingga SD), dan terakhir asrama Yudea (untuk anak-anak perempuan SMP hingga SMA).

Sedangkan sekolah, ada beberapa taman kanak-kanak. Seperti TK Agapae, TK Shekina, TK Samabusa, TK Wanggar, dan ada beberapa TK lainnya di pinggiran kota Nabire. Pada umumnya, taman kanak-kanak ini dikelola oleh Yayasan Pesat dengan latar belakang para guru yang umumnya didatangkan dari daerah Jawa.

Selain itu, ada SD Kristen Agape yang berdiri sejak pesat masuk di Kabupaten Nabire, kemudian berikutnya didirikan SMP Kristen Anak Panah, setelah itu secara bertahap didirikan lagi SMA Kristen Anak Panah. Sampai saat ini, SMA Anak panah telah menamatkan dua angkatana, dan semua lulusan memang betul-betul tinggal didik di asrama sejak taman kanak-kanak hingga mereka lulus.

Jumlah anak-anak asrama secara keseluruhan, hampir mencapai 300 anak. Sebagian besar atau hampir seluruhnya anak asli Papua. dan berasal dari berbagai daerah di Papua, seperti dari Kabupaten Intan Jaya (suku Moni), Kabupaten Paniai (suku Mee), Serui, Biak, bahkan ada yang dari daerah pegunungan Papua (suku Dani).

Mereka semua hidup sangat bersahabat dan terlihat hubungan kekerabatan yang sangat besar. Mereka sepertinya telah menjadi satu keluarga dalam sebuah yayasan. Dan, bagi mereka moment penting saat tinggal di asrama, akan selalu dikenang saat ke mana saja mereka berpergian.

Setiap lulusan yang menamatkan SMA akan dikirim ke luar Papua untuk kuliah sesuai dengan kemampuan anak-anak itu. “Kami berharap setiap anak bisa berprestasi supaya kita bisa sekolahkan sampai di perguruan tinggi,” jelas Eliezer Edo Odo, Ketua Yayasan Pesat Nabire dalam sebuah kesempatan ketika duduk memberikan kejelasan kepada anak-anak Asrama.

Pelayanan PESAT, selain di Kabupaten Nabire, ada 9 tempat lagi yang mereka layani, yaitu di Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Timika bekerja sama dengan LPMAK, serta beberapa daerah kecil lainnya di Papua. PESAT lebih khususkan diri bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan untuk Papua. (Pogau).
-----------------
sumber: http://pogauokto.blogspot.com/2009/12/pesat-nabire-membangun-pendidikan.html

Operasi Militer, Menjadi Salah Satu Penyebab Musnahnya Orang Asli Papua


Oleh: Oktovianus Pogau

Tidak banyak yang berpikir, namun kenyataan demikian, bahwa berbagai Operasi Militer (baca; pelanggaran HAM) yang tinggi di Papua membuat keberadaan penduduk asli Papua mulai tergeser, dan bahkan hampir punah. Ini sebuah dilema yang terjadi di tanah Papua, dan patut di selesaikan secara bermartabat, sembari tidak mengabaikan keinginan luhur orang asli Papua.

SEBUAH kejutan yang sangat besar, ketika hasil penilitian yang di lakukan Dr. Jim Elmslie, seorang peneliti dari Universitas Sidney pada akhir tahun 2007 lalu, yang dimana menyimpulkan bahwa bahwa pertumbuhan penduduk Papua hingga tahun 2030 lebih didominasi oleh pertumbuhan penduduk non-Papua (pendatang).

Penelitian Dr. Jim Elmslie disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia. Yang lebih mengejutkan lagi, dalam hasil simpulan maupun analisanya, kisaran tahun 2030 sampai tahun 2050 mendatang orang asli Papua, ras Melanesia akan musnah dari tanah kelahirannya.

Perbandingan Penduduk Asli Papua dan Non-Papua

Ia memberikan perbandingan tentang penduduk asli Papua dan non-Papua sejak tahun 1971. Di tahun 1971 dari total 923.000 penduduk Papua, tercatat 887,000 jiwa penduduk asli Papua dan 36,000 penduduk non-Papua. Ini berarti 96 persen penduduk Papua adalah penduduk asli Papua.

Pada tahun 1990, tercatat 1.215.897 penduduk asli Papua dan 414,210 penduduk non-Papuan dari total 1,630,107 jiwa penduduk Papua. Persentase penduduk asli Papua sebesar 74.6% dan non-Papuan sebesar 25.4%. Jika dilihat pertumbuhan penduduk asli Papua dari tahun 1971 hingga tahun 1990, maka laju pertambahan penduduk asli Papua adalah 1,67%. Laju pertambahan penduduk yang sangat rendah ini disebabkan oleh berbagai hal seperti kematian ibu dan anak yang cukup tinggi atau akses terhadap saranan kesehatan yang sangat minim.

Analisa yang dilakukan oleh Dr. Jim ini menunjukkan penurunan proporsi populasi penduduk asli Papua dari 96% menjadi 59%, dari tahun 1971 hingga tahun 2005. Sedangkan populasi non-Papua mengalami peningkatan proporsi dari 4% menjadi 41% dalam rentang waktu yang sama.

Dengan demikian, dalam kurun waktu 34 tahun, penduduk asli Papua hanya bertambah sebanyak 75.7% dari jumlah penduduk asli Papua pada tahun 1971. Namun jumlah penduduk non-Papua meningkat sangat tajam dari 36.000 jiwa menjadi 1.087.694 jiwa atau 30 kali lipat jumlah penduduk non-Papua pada tahun 1971. Selama rentang waktu 34 tahun ini laju pertambahan penduduk non-Papua sebesar 10,5%.

Data BPS Papua

Sedangkan data BPS Papua hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat angka 56,65 bayi yang meninggal dari 1000 bayi yang lahir setiap tahun. Data dari Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua yang bahkan menyebutkan bahwa hingga tahun 2001, setidaknya 3.751 balita yang meninggal dari total 51.460 balita.

Dengan laju pertambahan penduduk yang hanya 1,67% ini, diprediksikan jumlah penduduk asli Papua pada tahun 2005 sebanyak 1.558.795 jiwa dari total 2.646.489 penduduk Papua. Data BPS sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2000, jumlah penduduk Papua adalah 2.233.530 jiwa.

Dengan menggunakan laju pertambahan penduduk berdasarkan pertumbuhan penduduk Papua dan Non-Papua selama 34 tahun tersebut (Papua 1,67% dan Non-Papua 10,5%) maka Dr. Jim memprediksikan bahwa pada tahun 2011, dari total 3,7 juta jiwa penduduk Papua, penduduk asli Papua akan menjadi minoritas dengan proporsi 1,7 juta jiwa (47,5%) penduduk asli Papua.

Sedangkan penduduk non-Papua akan menjadi Mayoritas dengan jumlah 1,98 juta jiwa (53%). dalam papernya yang disampaikan dalam Indonesian Solidarity and the West Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia, Dr. Jim menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6.7 juta jiwa penduduk Papua. Ini berarti penduduk asli Papua hanya berkisar 1.353.400 jiwa dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030 Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15,2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1 : 6,5. Data BPS Papua pada tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk asli Papua adalah sebanyak 1.460.846 jiwa (Kompas, 15/06/2002). Hanya mengalami pertambahan jiwa sebanyak 560.843 dalam kurun waktu 1970 – 2000 ( 30 tahun )

Dan yang anehnya lagi, di masa yang sama, penduduk Papua New Guinea bertambah dari 2.554.000 pada tahun 1969, menjadi 5.299.000 jiwa pada tahun 2000. Jadi ada pertambahan sebanyak 2.745.000 jiwa. Pertambahan penduduk asli Papua di Indonesia tidak sampai 50% sedangkan di PNG penduduknya bertambah lebih dari 100%.(Baca, Tabloidjubi,3 April 2008).

Pertanyaan Untuk Kita?

Dengan membaca hasil penilitian diatas, memberi sebuah pertanyaan kepada kita, harus berbuat apa untuk menyelamatkan generasi Papua, bangsa Melanesia dari kepunahan. Bukankah tanah Papua di ciptakan untuk menjadi tempat hidup dan berkembangnya orang asli Papua?

Walau dalam hasil analisa yang dipaparkan Dr. Jim, penduduk Papua berkurang karena kematian ibu yang cukup tinggi serta akses terhadap saranan kesehatan yang sangat minim, Dimana hasil Data BPS Papua hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat angka 56,65 bayi yang meninggal dari 1000 bayi yang lahir setiap tahun. Data dari Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua yang bahkan menyebutkan bahwa hingga tahun 2001, setidaknya 3.751 balita yang meninggal dari total 51.460 balita.

Namun yang ada ganjal dengan pemaparan Dr. Jim, apa benar orang asli Papua akan musnah hanya karena buruknya kesehatan dan kurangnya sarana prasaran penunjang? Ini yang menjadi sebuah pertanyaan penting yang harus di jawab secara adil, jujur serta bermartabat, karena hal ini bagian terpenting dari junjung demokrasi sebagai falsahah Negara Indonesia.

Operasi Militer, Penyebab Musnahnya Orang asli Papua

Namun dalam hemat penulis, pelanggaran HAM atau yang lebih tren dengan sebutan Operasi Militer yang semakin meluber terjadi di Papua adalah salah satu ancaman serius yang membuat orang asli Papua akan musnah dari tanah kelahirannya. Ini sebuah fakta yang tidak bisa kita mengelah.

Pemerintah Indonesia dan Militernya telah melakukan sejumlah operasi besar-besaran di tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981) Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) dan Operasi Sapu Bersih (1984)

Selain itu lebih tragis lagi, Operasi Militer yang di lancarkan di Mapenduma yang mana merenggut banyak korban penduduk sipil (1996) dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001), Operasi Militer di Wamena (2003) dan Kabupaten Puncak Jaya (2004). Semua perlakuan pemerintah Indonesia dan Militernya sungguh sangat tragis. Dengan ini menimbulkan pertanyaan, ada apa di balik semua itu? Ingin memusnahkan bukan?

Menurut sumber resmi Amnesty Internasionl, hingga tahun 2006 jumlah rakyat Papua yang menjadi korban kekerasan (baca; operasi militer) berjumlah 100 ribu jiwa, sedangkan menurut sumber lain yang bisa di percayai kebenarannya bahwa jumlah orang asli Papua yang di bantai Militer Indonesia kurang lebih 1,5 juta jiwa penduduk.

Sampai saat ini masih banyak orang asli Papua yang trauma dengan peristiwa masa lalu, khususnya mereka yang hidup di kampung-kampung, lembah-lembah, gunung-gunung, bukit-bukit serta pesisir-pesisir. Dalam kesehariannya, jika kita duduk, berbicara, serta ngobrol dengan mereka, dengan lantang mereka akan mengukapkan bahwa mereka adalah korban semena-mena dimasa lalu yang pemerintah Indonesia dan Militernya lakukan.

“Ayah saya pernah diangkut dengan truck, kemudian dibawah pergi jauh dari rumah. Tidak tau persis, kemana ayah saya di bawah, tapi sampai saat ini belum pernah pulang. Saya tau, ayah saya telah dibunuh, dan mayatnya dibuang oleh Militer Indonesia”, ini kesaksian seorang anak asli dari Biak, salah satu dari sekian banyak korban Biak berdarah yang di publikasikan oleh Journeyman TV beberapa saat setelah peristiwa itu reda, seperti yang di kutip situs Youtbe.

Lain halnya dengan peristiwa Wamena berdarah yang terjadi pada tahun 2003 lalu. Dimana ratusan rumah warga sipil, kebun, kandang binatang, bahkan rumah ibadat-pun dihancurkan secara tidak manusiawi. Semua bermula dari kecurigaan pemerintah Indonesia dan Militernya terhadap Organisasi Papua Merdeka (baca; pejuang hak-hak dasar orang asli Papua) yang katanya sering meresahkan warga masyarakat disana, padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.

Operasi Wamena sendiri merenggut korban nyawa yang tidak sedikit, semua berlangsung, terjadi dan berjalan tanpa kata-kata maupun teguran. Melecehkan, melenyapkan, bahkan mengkebiri ideology (baca; pancasila), dimana Tuhan di lupakan begitu saja. Mungkin tepat yang dikatakan Pemimpin Besar Bangsa Papua Theys Hiyo Eluay sebelum wafat, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang jahat serta tidak pernah menghargai HAM manusia rakyatnya, seperti di kutip Journeymen TV dalam situs Yotube.

Penutup

Dengan melihat berbagai pelanggaran HAM yang semakin tumbuh subur di tanah Papua, memberi sebuah pertanyaan pada semua kita, terlebih khusus pemerintah Indonesia dan Militernya? Apakah masih tetap ingin menyelesaikan segala persoalan di Papua dengan berbagai Operasi dan penumpasan yang sudah tentu akan merenggut nyawa warga sipil, orang asli Papua yang tidak berdosa.

Ini sebuah persoalan yang perlu sekali diputuskan, Apabila masih menginginkan orang asli Papua dan tanahnya tetap dalam bingkai NKRI. Karena itu, jangan kaget bahkan marah ketika melihat banyak orang asli Papua yang tetap meneriakan merdeka (Independent) atau bebas (free) sebagai solusi akhir dalam menjawab segala luka batin di bumi Papua.

Aspirasi merdeka dan ingin pisah dari NKRI alias berdaulat sendiri memang terkuak karena orang asli Papua tidak pernah diakui sebagai bagian dari NKRI. Hal ini terbukti besar dengan segala bentuk pelanggaran HAM yang terus-menerus tumbuh subur di Papua. Serta hak-hak orang asli Papua dalam rana demokrasi, serta UU Otsus yang selalu diabaikan. Maka tidak heran, banyak yang menyimpulkan bahwa ini bagian dari pemusnahan (genocida) etnis Melanesia.

Mungkin sebuah perenungan panjang yang perlu sekali dijawab, apa memang masih tetap menginginkan orang asli Papua untuk tetap ikut dengan NKRI, atau membiarkan mereka membentuk negera sendiri (merdeka). Dimana menjadi sebuah Negara yang berdaulat, serta memunyai pemerintahan sendiri.

Hanya pemerintah Indonesia dan Militernya yang bisa memberi sebuah jawaban serta kepastian. Dimana hal ini dibuktikan dengan segala keputusan, tindakan serta keseriusan dalam menyelesaikan masalah Papua. Mungkin hanya waktu yang akan menjawab, apa dan bagaimana jadinya orang asli Papua dan tanahnya dalam beberapa waktu mendatang. Semoga berubah, dan lebih baik lagi.

*Catatan ketika melihat keadilan dan kebenaran di bungkam demi sebuah kepentingan. Hal ini di tandai dengan Operasi Militer, yang sekaligus melahirkan bentuk pelanggaran HAM yang besar di Papua.

*Penulis adalah Jurnalis Muda Papua, tinggal di pinggiran Kota Jayapura

Dalam Kitab

MAKLON- "Pembimbing rohanimu sama buta dan bingungnya dengan kamu,"
kata Sang Guru. "Jika menghadapi permasalahan hidup, segera
mereka mencoba mencari jawabnya dari dalam Kitab. Padahal,
hidup itu terlalu besar untuk dicocokkan dengan kitab mana
pun."

Untuk melukiskan hal itu, ia bercerita mengenai seorang
penjahat yang berkata, "Angkat tangan! Berikan uangmu atau
kalau tidak..."

"Kalau tidak, apa?"

"Sudahlah, jangan banyak bertanya dan membuat saya bingung!
Saya baru pertama kali ini merampok."

(Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello,
Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)